Hikmah, Khazanah Islam yang di Abaikan

8 04 2008

“Ingatlah nikmat Allah atas kalian, Kitab dan Hikmah yang diturunkan kepada kalian yang Dia menasehati kalian dengan apa yang ada di dalamnya.” (Qs. Al-Baqarah : 23)
Kata Al-Hikmah dalam Al-Qur’an sering dipersandingkan dengan Kitab yang ditujukan kepada Rasulullah, banyak ayat yang mengungkapkan hal ini, selain dalam ayat di atas di bagian lain Al-Qur’an Allah SWT berfirman : “Dialah yang mengutus kepada orang-orang yang tidak berperadaban (al-Ummiyin) seorang Rasul dari golongan mereka. Dia membacaan ayat-ayat untuk mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka. Sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyta.” (Qs. Al-Jum’ah : 2)
Dengan melihat cara Al-Qur’an menuturkan kata Hikmah sesudah kata Al-Qur’an mendorong Imam Syafi’i dan mayoritas ulama lainnya menafsirkan Hikmah adalah Sunnah Nabi. Penafsiran ini tentu saja tidak ada salahnya dan bisa diterima, hanya saja kata Hikmah dalam Al-Qur’an tidak selamanya dipersandingkan dengan Al-Qur’an, dan harus punya makna lain selain Sunnah Nabi Muhammad SAW. Di beberapa ayat Hikmah juga diberikan kepada Nabi dan orang saleh lainnya, diantaranya untuk Nabi Daud (Qs. Al-Baqarah : 251, Shad :20) , untuk Lukman (Qs. Lukman : 12), untuk Nabi Isa (Qs. Ali-Imran : 48) dan untuk seluruh nabi tanpa terkecuali (Qs. Ali-Imran : 81). Bahkan Allah berbicara tentang Hikmah dengan pengertian abstrak : “(Allah) memberikan Hikmah kepada orang yang dikehendaki. Barangsiapa yang diberi Hikmah, berarti telah diberi kebaikan yang berlimpah. Hanya orang-orang yang memiliki kekuatan berpikir (ulul albab) yang dapat mengambil pelajaran.” (Qs. Al-Baqarah : 269) “Ajaklah kepada Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik.” (Qs. An-Nahl: 125) Dari penyebutan Hikmah dalam ayat-ayat di atas, yang menjadikannya sebagai bagian dari risalah kerasulan dan pendamping dari Kitab, kita bisa mengajukan pertanyaan, mengapa Al-Qur’an harus menyertakan Hikmah sesudah Kitab dan tidak merasa cukup dengan hanya menyebut kitab ? Jawaban yang paling mungkin adalah kata Hikmah berarti akal budi positif, kemampuan berpikir sehat, ilmu yang menjadi petunjuk dan pengetahuan terhadap nilai-nilai kebenaran sehingga manusia tidak tersesat, DEPAG menafsirkan hikmah sebagai perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan batil. Apalagi banyak dalam ayat Al-Qur’an yang sangat menganjurkan manusia untuk berpikir dan merenungkan tentang ayat-ayat dan hukum-hukum yang Allah tetapkan. Dari sisi lain, Hikmah itu sepadan dengan kata Filsafat. Dan seorang filosof adalah orang yang mencintai hikmah. Karenanya Ibnu Rusd memahami kata Hikmah sebagai filsafat. Sedangkan oleh Thabrisi dalam tafsir Qur’annnya menafsirkan hikmah sebagai ilmu yang bermanfaat, karena dengan ilmu manusia bisa membedakan kebaikan dengan kebejatan. Sebagaimana kita ketahui Al-Hukm merupakan derivasi kata Hikmah, dan yang dimaksud dengan hukum adalah keputusan yang mengatur urusan manusia. Seorang hakim (pengambil kebijakan) adalah orang yang mampu mengambil keputusan sesuai dengan nalar realitas yang rasional, bukan berdasarkan dorongan hasrat dan kesenangan. Secara pribadi dalam menafsirkan Hikmah saya cenderung tidak menafsirkan hikmah sebagaimana definisi hikmah yang diajukan Ibnu Rusd. Mengapa ? karena filsafat menurut saya lebih mengedepankan makna kontekstual hikmah yang membuat makna hikmah terbelenggu pada ilmu kalam yang perhatiannya terpusat pada hal-hal eskatologis dan zat Allah. Saya lebih memilih mendefinisikan hikmah sebagaimana Gamal Al-Banna yang memilih defenisi hikmah secara umum, yakni akal sehat yang cenderung pada kebenaran. Dalam Al-Qur’an, kitab-kitab suci yang diturunkan selalu berdampingan hikmah, mengapa ? Jawabannya, semua kitab suci adalah kitab-kitab petunjuk yang mengandung prinsip-prinsip dasar petunjuk dan tidak menjelaskan prinsip-prinsip tersebut secara mendetail dan terperinci. Akal sehatlah yang kemudian berperan untuk mengetahui dan menyingkap segala sesuatu yang belum diketahui. Jadi, Allah menghendaki akal sebagai wahyu subyektif dalam diri setiap individu yang membawa spirit Ilahi dalam diri manusia, akal yang sehat adalah bagian dari wahyu. Andai dalam Al-Qur’an Allah hanya menyebut Kitab sebagai petunjuk kehidupan manusia dan tidak menyertakan hikmah, bisa jadi kita memahami Al-Qur’an secara serampangan, secara tekstual, menggunakannya sebagai alat untuk mengeruk kepentingan pribadi atau untuk mendukung aliran pemikiran tertentu yang lebih senang mempersulit, mengekang dan membatasi. Dampaknya, bisa kita rasakan, ketika ulama bersikap masa bodoh dengan hikmah, mereka cenderung mengharamkan pemikiran dalam Islam untuk mengambil buah peradaban manusia, baik itu masa lalu atau masa kini, dari Barat atau Timur. Akhirnya, Islam terjebak pada kubangan keterbelakangan. Dari sini menjadi jelas, hikmah merupakan sumber otentik dalam Islam. Hikmah merupakan perangkat yang meniscayakan pluralisme (ajaran toleran terhadap perbedaan) dan keterbukaan yang memberikan peluang kepada kaum muslimin untuk mengambil manfaat dari berbagai pengetahuan di dunia. Rasulullah bersabda mengenai hikmah : “Hikmah adalah milik orang mukmin yang hilang. Dimanapun ia menemukannya, maka ia yang paling berhak mengambilnya.” Hari ini tugas kaum intelektual Islam, adalah menyingkirkan debu-debu yang menutup hikmah dan mengembalikannya sebagai pendamping kitab dan pelengkap risalah. Hikmah adalah sumber ajaran Islam yang ditegaskan Al-Qur’an. Karenanya, tidak ada ganjalan psikologis apapun untuk meraup segala sesuatu yang menjadi pendukung hikmah, yakni sains, logika, filsafat, sastra dan seni. Sekali lagi, tanpa ganjalan psikologis, dengan hikmah, akal manusia menemukan ruang aktualisasinya.
Selamat berselancar akal!
————-5/1/2007——————————–
Parang Tambung. Jum’at, 5 Januari 2006

 


Aksi

Information

Tinggalkan komentar